Minggu, 28 Agustus 2011

Masih Hidup

Hei, blog ini masih hidup. Tadi iseng mencoba masuk, apes! saya sudah lupa passwodnya. Dengan menggunakan forgot passwod, alhamdulilah, blog ini kembali dapat diakses. Sayangnya, template hijau yang dulu tidak dapat dipakai lagi, karena menggunakan photobucket, entah kenapa. Akhirnya saya memasang template seadanya saja.

Minggu, 07 Maret 2010

Memahami Wanita-wanita

Ternyata, ia menjadi hal tersulit yang aku pahami. menjadi wanita, banyak sekali resiko yang harus ditanggung. Entahlah, inilah yang berhasil aku rakam dalam pita memori. Kemarin, ketika aku mengunjungi ibu majikanku di rumah sakit pasca operasi bedah kanker payudara. Yah, ibu kena kanker payudara. Kini, payudaranya hanya tinggal satu saja. Ah, baru mengerti dan memahami, mengapa wanita banyak yang menyembunyikan penyakit ini bahkan, tak sedikit yang menyembunyikan dari pihak keluarga dan suaminya.

Ibu terlihat begitu tegar dan sabar. Ia terakam jelas dari raut wajahnya. Mungkin, itu juga yang cepat memulihkan kesehatan ibu. Saat bercerita detik-detik menghadapi ruang operasi betapa ketar ketakutan itu terasa. Ujarnya, gigi sampai bergemulutuk menahan takut ketika salah satu anggota badannya akan tersayat. Meskipun ia dalam bius tapi, cukup mengerikan saat membayangkan secara sadar.

Saat operasi sudah selesai, ini bukanlah akhir dari penyelesaian. Setelah ini, ketika mengetahui hasil lab uji bukan tidak mungkin ibu akan menghadapi kemoterphy yang cukup panjang. Bergantung kepada sejauh mana tingkat akar kanker yang sudah menyebar di bawah ketiak. Kawan baiknya yang seorang dokter bedah dibidangnya memberitahukan, kemungkinan sangat kecil untuk mengetahui sebanyak mana sel-sel kanker yang sudah menyebar di bawah ketiak. Dan, dokter tadi juga bilang kalau selama masa kemo, banyak sekali terjadi perubahan-perubahan dalam badan. Rambut yang gugur, kuku jari yang menghitam dan badan menjadi kurus. Masya Allah... sebegitu jauhnya...

Sang dokter memberikan pengandaian, ibarat kita berjalan di dalam hutan dan menemukan pohon buah mempelam. Kita menebasnya dan menghabiskan semua ranting-rantingnya meyakinkan bahwa ia tak akan berkembang biak. Tapi, sebelumnya kita tak tahu, bahwa pohon mempelam itu sudah mempunyai buah dan jatuh di tempat merat-rata. Dan buah tadilah, yang akan kembali tumbuh serta menyebar diberbagai tempat yang tak diduga. Itulah fungsi kemotherapy , ujarnya. mematikan semua sel-sel kanker yang kemungkinan akan menyebar. Sebetulnya, proses kemo tadi, tak hanya menghancurkan sel-sel kanker. bahkan, ia juga mematikan sel-sel baik dalam tubuh. Itulah yang menyebabkan terjadi perubahan drastis dalam tubuh.

Melihat ketegaran dan kesabaran ibu aku begitu salut. Tapi, aku juga memikirkan wanita-wanita lainnya yang aku yakin di belahan bumi manapun masih banyak yang mengidap penyakit ini. Ibu beruntung (sakit juga masih beruntung yah? :D) maksudnya, meskipun sakit begitu, ibu beruntung masih memiliki dana finansial yang cukup untuk berobat. Sedang di sana, entah di mana aku yakin masih ada wanita-wanita yang kekurangan menghadapi masalah penyakit tersebut. Memikirkan bagaimana biayanya, ia cukuplah mahal.

Memahami wanita-wanita bahwa hidupnya penuh resiko dengan penyakit yang tak terduga. Ya Allah... lindungilah kami para wanita-wanita, semoga menjadi terbaik untuk agama juga menjadi yang baik untuk keluarga juga bangsa. Insya Allah, Wallahu'alam.

1 dari 20 wanita di Malaysia terindikasi terkena kanker payudara. bagaimana dengan wanita Indonesia...????


Rabu, 10 Februari 2010

Secangkir Kopi Sore Ini


Secangkir kopi, tentu saja bagi saya, membawa kenikmatan tersendiri. Pada kepulan hawa panas kopi, semangat bisa muncul, asa bisa terkuak, harapan bisa mengemuka begitu saja. Secangkir kopi, sejauh ini selalu jadi sahabat terbaik saya.

Seseorang pernah mendapat julukan "Setiap harinya adalah secangkir kopi". Julukan itu mungkin cocok juga buat saya. Maka izinkan saya menyeruput secangkir kopi saya. Ah, shruuuuuup, sedap!. Secangkir kopi dan rintihan hujan diluar sana betapa kontras tapi saling melengkapi.

Begitulah. Sedang hujan disini. Hujan yang entah kenapa selalu turun menjelang pukul tiga sore. saat saya sedang memeriksa pekerjaan-pekerjaan saya. Mungkin Dia, Sang Maha Segala ,tau, bahwa supaya saya lebih semangat memeriksa pekerjaan saya, perlu ditemani rintik hujan. Maka Dia menurunkan hujan. Hujan, selalu lebih afdol bila ditemani secangkir kopi. Maka secangkir kopipun siap untuk saya minum.

Saya hirup lagi kopi saya ya, shruuuuup, maknyus. Selamat sore kawan. Sore ini basah (karena hujan), sekaligus hangat (karena secangkir kopi saya). Pukul empat nanti, saya bersiap-siap pulang, tentu saja bila tidak ada hal tiba-tiba dan mendesak yang harus saya kerjakan sore ini juga. Sebelum saya tutup, kalau berkenan, silahkan baca-baca kisah tentang secangkir kopi saya disini. Wasalam.

Sabtu, 30 Januari 2010

Kejamkah, Seorang Ibu?

"Aku sering dimarahin Ibu." Ujar salah seorang sahabatku, sebut saja, namanya Ella. Aku sering termenung, ketika harus menyimak, cerita demi cerita darinya.
"Lihat nih Li, dulu Ibu pernah mengejar aku, gara-gara aku terlambat pulang main. Aku pulang pas waktu maghrib. Terus, aku jatuh di dekat pekuburan kampung, terantuk batu." Ella mengangkat celananya, menunjukkan bekas luka beberapa tahun lalu.
"Aku juga pernah dikurung di luar, dengan abang. Gara-garanya, masih sama kita terlambat pulang. Waktu itu, aku belum makan malam. Sampai akihirnya, Abang mencuri singkong tetangga dan membakarnya. Kebetulan, di dekat situ, masih ada api yang menyala."

Aku menghela napas mendengar kisah Ella. Entahlah, antara percaya dan tidak. Kadang, aku sampai meyakinkan berulang kali, "Bener nih La...???" Sebetulnya, aku sudah sering mendengar kisah Ella, dari beberapa orang. Ella, adalah salah seorang sahabat dekatku di Malaysia. Dia, adalah saudara jauh majikan aku dan pernah bekerja dengan majikanku. Kemudian, dia bekerja dengan anak majikanku. Tapi, kini ia telah lama pulang ke Indonesia.

Setiap bait ceritanya, kusimak dalam-dalam. Buatku, ini kisah yang unik, seorang ibu yang "kejam" Dan, saat kutanya kepada Ella, "mang ayah kamu nggak nolong yah La, waktu kamu dikurung di luar?." Ella bilang, "Enggak Li, kalau ayah membuka untuk kita, atau siapapun, mereka akan sama-sama dihalau keluar." Astaghfirullah... Betul-betul miris. Apakah betul-betul ada, seorang ibu yang seperti ini...???

Aku jadi teringat, pada sebuah dongeng yang sangat melegenda. Menurut sumber yang aku baca bahwa, cerita Cinderella tokoh sang ibu bukanlah ibu tiri. Ia adalah seorang ibu kandung. Selama menyimak cerita Ella, aku terbayang-bayang dongeng turun temurun itu. Tapi, pernah juga Ella bercerita, ketika ia baru pertama kali merantau ke Malaysia dan saat puleng ke Indonesia, keluarganya semua menjemput. termasuklah, sang ibu. Saat di bandara, seperti biasa, ibunya ketus kepadanya. Dan, saat sampai di rumah, rupanya sang ibu diam-diam menyusut air matanya ketika berada di dapur. Ella sangat terharu menyaksikan kejadian tersebut. Rupanya, sang Ibu masih memperhatikannya.

Dan, khabar terakhir yang aku dengar, Ella dijodohkan dengan orang yang sama sekali ia tidak mencintainya. Entah bagaimana ceritanya, mereka pun menikah. Saat aku bertanya kepada Ella melalui telphone, Kenapa tidak menolak rencana sang ibu? Ah, nasi sudah menjadi bubur. Ella tetap menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Sampai akhirnya, keluarga itu tidak bertahan lama, babru beberapa bulan menikah, akhirnya Ella menuntut cerai dari sang suami. Semenjak di Indonesia, Ella jarang seklai memberi khabat kepadaku. Kecuali, aku menelphonenya. Itupun, setelah aku kesana kemari mencari nomor dia.

Beberapa bulan kemudian, aku mendapat khabar bahwa, Ella akan menikah lagi. Dengan lelaki pilihannya. Cukup berliku kehidupannya. Sampai khabar terkahir aku dengar, dia memang sudah menikah dengan lelaki pilihannya. Saat kutanya, siapa saja yang menghadiri pernikahannya, Ella hanya menjawab, Ayah, adik ibunya dan sepupunyalah yang menghadirinya. Ibunya, sama sekali tidak mau datang. Ada detik kesenduan dalam hati. Dalam acara sakral seperti itu, ketika menyadari sang ibu tak mau menghadiri, tentunya betapa sedih perasaan Ella.

Antara percaya dan tidak, memang ada seorang ibu yang berpikiran sesempit itu. Entah membenci anaknya atau apa tujuannya. terngiang-ngiang sabda nabi, yang berkata "Syurga di telapak kaki ibu." Kalau begini di manakah silap seorang ibu? Semoga Allah, selalu melindungi Ella.


Sabtu, 16 Januari 2010

Menepi Di Kejinggaan

Pada suatu hari yang biasa, di sebuah noktah bumi. Seseorang menatap sebuah kejinggaan. Ya, sebuah kejingaan. Entah kejinggaan karena apa. Karena senjakah, karena sang fajar atau karena sebuah letusan gunung berapikah ....? Tak ada jawaban yang pasti meski telah mereka-reka sebab timbulnya sebuah kejinggaan. Seketika hari itu menjadi istimewa baginya. Sebuah hari dengan kejinggaan yang indah.

Jika jingga adalah simbol sebuah energi, keseimbangan dan kehangatan, maka pantas saja hal tersebut ia rasakan. Menatap kejinggaan itu, seperti menatap sebuah energi yang menawarkan kehangatan, juga keseimbangan. Mungkinkah.....? tanya seseorang itu pada dirinya sendiri. Tentu saja tidak ada jawaban. Yang ada adalah kesenyapan dan......., kejinggaan yang indah itu. Begitulah. Setidaknya sebuah asa telah bangkit padanya karena sang kejinggaan. Asa untuk sejenak menepi dan merenung dengan sebuah energi yang menyeimbangkan jiwa, dan sebuah kehangatan. Bukankah sesekali merenung perlu baginya, bagi siapapun, kalau mau.

Senin, 11 Januari 2010

Wanita Tua dan Ayam


Wanita itu, umurnya kira-kira 70 tahun. Badannya, tak lagi tegak. Aku sering melihatnya di belakang rumah. membawa nasi basi, dalam jumlah yang banyak. Memberikannya kepada ayam-ayam di belakang rumah majikanku. Seperti berkata kepada anak kecil, ia kadang melerai ayam-ayam yang saling berebut nasi yang dibawanya. Sambil menjemur baju, aku sering memperhatikan gelagatnya. Ada sedikit kecemburuan dalam hatiku, betapa lembut perasaan hati wanita tua itu. Lihatlah, jauh-jauh Ia datang, hanya untuk memberi nasi kepada ayam-ayam yang bukan miliknya.

Suatu ketika, aku ada kesempatan berbicara dengannya. Awalnya, hanya menyunggingkan senyum. kemudian, tak lama Ia mendekatiku dan mengajaku ngobrol. Dari logat bicaranya, mungkin Ia bukan berasal dari Kuala Lumpur. Aku bertanya dimana tinggalnya. Mendengar jawabnya, cukup jauh rasanya dia tinggal. Ujarnya, nasi-nasi itu, adalah sisa dari hidangan tahlilan, arwah abangnya. Ia pun bercerita, kalau sudah tak memiliki lagi keluarga. Dan sekarang, hanya tinggal dengan keponakannya.

Melihat gaya bicaranya, melihat wajahnya saat ia berkata, hatiku membatin bisu. Wanita ini, sudah tak muda lagi. Wajahnya, sudah keriput dibagian sana sini. Dan giginya, tak lagi utuh. Bicaranya pun, tak lagi penuh. Setiap katanya, tak lagi sempurna. Betapa aku berfikir, kelak, aku akan seperti itu ketika tua. Wanita tua itu, memberikan aku sebuah pengajaran. Betapa hidup, itu tak kekal. Subhanallah... Wallahu'alam.

Gambar diambil dari sini

Minggu, 10 Januari 2010

Perempuan Nan Jauh Dan Gembalanya


Tiba-tiba saja angin selatan mengantarkan saya ke suatu tempat penuh cahaya. Sebuah tempat yang jauh dari tempat saya berdiri. Entah kenapa saya ingin menuliskan apa yang saya dapatkan disana. Sebuah pengembalaan yang tidak sekedar menghalau domba, bagi saya. Begitulah. Pengembalaan yang seperti diberkahi langit.

Perempuan itu tampak menunduk. Kelihatannya ia melantunkan segala doa dan harap. Barangkali pula dzikir pada Tuhannya. Entahlah. Sementara di depannya, para domba patuh menembus kabut pagi. Ya, para domba patuh mengikuti arah halauan sang perempuan berjubah, meski perempuan itu tak selalu mengawasi para domba. Maka pengembalaan yang saya lihat pagi itu begitu khidmat.

Pedalaman Bolivia, perempuan pengembalamu begitu khusuk dengan doa dan gembalanya. Itu membuat saya tertegun. Kakinya yang langsing seperti tak kenal salah arah. Dan ia masih saja menunduk, sibuk dengan doa-doanya. Barangkali diantara doanya, perempuan berjubah itu mendoakan agar sang domba selalu menyediakan susu buat anak-anaknya di rumah. Mungkin pula mendoakan agar dombanya segera beranak-pinak sehingga bisa dijual kepada Miguel sang juragan demi sedikit uang belanjanya. Mungkin saja.

Perempuan nan jauh dan gembalanya, langkahmu yang tertunduk dan khusuk telah membuat saya terkesima. Betapa sebuah perjuangan hidup telah dijalankan dengan tulus. Semoga semesta mengamini doamu.

Gambar oleh Maria Stenzel, Diambil dari sini